Senin, 23 Januari 2012

Chapter III

BAB 3

Stuck in Limbo



Setelah kepergian seseorang yang berarti untukku aku mulai kembali lembar kisahku, seperti biasa kegiatan rutinku sebagai seorang pelajar adalah menuntut ilmu dan tetap menjalani hobiku yaitu bermain dengan si kulit orange, hari – hari terasa biasa karena mungkin kurangnya warna dihidupku setelah ia harus pergi, hanya menjalani apa yang jadi kewajibanku dan selebihnya kuhabiskan untuk diam dan menyendiri. Hal itu menurutku adalah cara terbaik yang dapat menghilangkan semua rasa penatku, dan kembali aku merasakan hal yang membuatku terjebak dalam pertanyaan yang belum terungkap.
Aku bangun lebih pagi dari biasanya karena jujur aku sudah tak tahu bagaimana aku harus berbuat, aku berlutut beralaskan karpet bermotif dengan menggunakan kain dan topi bulat kemudian aku bercerita pada-Nya perihal masalahku dan yang ingin aku ketahui, yaitu jawaban dari yang aku rasakan. 2 jam berlalu ku bercerita akhirnya kudengar suara dari bilik dapur rumahku, itu adalah suara bibikku yang sedang berberes dan menyiapkan semua hal untuk pagi nanti. Dan kuputuskan untuk merebahkan badan dan mengistirahatkan pikiranku yang berujung aku tertidur pulas dan mendapat suatu pertanda, aku berjumpa sesosok yang sangat luar biasa dia, seluruh tubuhnya bercahaya dan samar dipandanganku, kemudian ia berkata “jika kamu mendapatkannya kamu akan bahagia, namun jika kamu kehilangannya maka sakit yang akan kamu terima” setelah itu aku terbangun dan terdiam, aku berpikir dan berusaha memecahkan maksud dari kalimat itu namun tak kunjung mendapat sebuah jawaban dan tetap terjebak dalam rasa yang tak bisa aku ketahui itu. Mungkin butuh waktu lama untuk mengerti, setiap kata dari kalimat itu sangat membuatku penasaran dan tak bisa lupa akan kalimat itu.
Suatu siang yang panas aku berteduh dibawah pohon sambil menikmati segelas minuman dingin berasa anggur, sungguh lelah hari itu, hingga segelas minuman tadi tak berarti, dan kuputuskan untuk singgah dirumah-Nya untuk beristirahat dan menenangkan pikiranku dan aku pun masuk setelah mensucikan diriku. 1 jam berlalu dan kulihat benda bulat yang melingkar ditangan kiriku, ternyata sudah tepat jam 1 siang, aku bergegas pulang dengan kendaraanku. Sesampainya dirumah kembali aku menemukan sebuah keganjalan, aku bertemu seorang nenek tua didepan rumahku, ia memakai baju layaknya pemulung, aku bertanya kepadanya perihal ia berada didepan pagar rumahku, ia pun tersenyum dan meminta minum kepadaku, akhirnya ku bergegas membuka pagar dan menyuruh nenek tadi untuk menunggu di beranda rumahku dan aku mengambilkan ia segelas minum. Tak lama kemudian, aku kembali dengan segelas air putih dingin ditanganku dan keberikan kepada nenek itu, dengan cepat nenek itu menghabiskannya dan aku bertanya apakah masi kurang minumnya, ia menjawab dengan berkata “ikuti kata hati kamu, disitulah jawaban yang selama ini kamu cari” kemudian ia pergi sedangkan aku terpaku mendengar apa yang aku dengar, pada saat aku kembali ingin menanyakan sesuatu ia pun sudah pergi. Jujur aku pun kembali terjebak dengan perkataan dan kalimat itu, sangat aneh namun cukup menenangkanku. Siapapun nenek itu aku tahu dia lah yang diutus oleh-Nya untuk menyampaikan itu. Dan aku kembali berusaha menguak misteri rasa yang selalu ada di benakku.
next on chapter IV



Sabtu, 21 Januari 2012

Chapter II

BAB 2

FEEL...

Masa ini adalah masa yang aneh, aku merasa ada hal lain yang aku rasakan entah apa itu namun sangat berbeda sekali. Aku mengalami semua itu pada saat aku menginjak SMA atau berseragam putih abu-abu, disana dan ditempat itu aku menemukan fantasi lain. Ini bukan fantasi berkonotasi negatif atau sesuatu yang jelek tapi memang aku merasakan aku menjadi berbeda, lebih menikmati hari dan waktuku, mengisisnya dengan hal-hal yang menyenangkan menurutku dan tak merugikan aku dan orang lain. Namun aku masi bingung dengan apa yang aku rasakan, semua seperti berbeda dan aneh. Mungkin aku harus bertanya pada nenek atau ibuku tentang ini dan aku menunggu waktu yang tepat untuk mempertanyakan apa yang kualami ini.
Hari itu aku terduduk dibawah susunan besi berbentuk kotak yang cukup tinggi dan tertempel papan yang mempunyai moncong lingkaran besi, ya itulah kesibukan ku saat SMA, bermain dengan benda itu bersama bola berpori-pori berwarna orange yang aku miliki. Ditempat itu aku berfikir dan berkeputusan untuk mempertanyakan apa yang kualami ini kepada mereka. Sampailah aku dirumah namun tak ada satupun orang dirumah, tiba-tiba muncul bibik ku, bibikku adalah seorang pembantu yang sudah kuanggap seperti keluarga, ia berumur 55 tahunan, bertempat tinggal didesa yang sangat nyaman dan mempunyai anak dan cucu. Ia menghampiriku tanpa menatapku langsung menyuruhku untuk menaruh semua barangku dan mandi, aku mengiyakan hal itu. Setelah aku selesai mandi aku menuju dapur dan bertanya kemana perginya seluruh penghuni rumahku, namun iya hanya menjawab “mama ama kakak kamu pergi tahlil, g tau kemana”. Aku heran, tidak biasanya ibu dan kakakku pergi tak memberi tahu kemana mereka pergi, karena ku pikir itu hanya hal sepele aku pun tak terlalu memikirkan hal itu dan langsung menuju meja makan untuk makan. Ditengah aku sedang makan telepon genggamku berbunyi dan disitu tertera nama “mama” dengan segera aku angkat dan aku sangat kaget mendengar ekspresi ibuku saat berkata ditelepon tersebut, aku menanyakan apa sebenarnya yang terjadi dan ibuku yang panik hanya berkata “besok kamu harus ikut ya” lalu ia mengucap salam dan menutup sambungan telepon. Pikiranku kacau, aku salah apa? Ini maksudnya apa? Aku bertanya-tanya dan aku pun bergagasan bahwa ini ada hubungannya dengan tahlil yang ibu dan kakakku kunjungi. Tapi aku tak lagi menghiraukan itu dan mulai memikirkan hal yang ingin kutanyakan kepada ibu dan nenekku. Karena kupikir ibuku tak mungkin untuk diajak bicara aku berinisiatif menelpon nenekku saja, langsung ku telepon nenekku dengan telepon genggamku namun, tidak ada jawaban hingga ke tiga kalinya seseorang mengangkatnya dan berbicara padaku, ternyata itu adalah pamankuyang langsung bercerita tentang sesuatu yang mengganjal dihatiku tadi. Dan aku hanya bisa meneteskan air mataku, nenekku meninggal 7 jam yang lalu dirumah sakit karena penyakit paru-paru yang selama ini ia derita dan tak ia ceritakan kepada kami. Rasanya seperti tak bernyawa, satu-satunya orang yang mengerti diriku kembali harus diambil oleh-Nya dan aku hanya bisa menyesali kepergiannya, karena aku tak ada disampingnya saat terakhir ia menutup mata dan usianya.
Dengan rasa menyesal dan kecewa aku akhirnya harus merelakan kepergian nenekku dan menyimpan sejuta rasa yang kupendam dihati tapi, aku akan tetap semangat seperti kata terakhir dari nenekku “life goes on, you must keep moving forward, grab what you want and make it real but keep on the right” hmmmm... berat namun ia selalu ada dihariku, dipikiranku, dan dihatiku, selalu...

next on chapter & bab 3

Selasa, 17 Januari 2012

Chapter I

BAB 1
PENDAHULUAN


Hidupku boleh dibilang berkecukupan, aku tinggal dirumah yang boleh dibilang bagus begitu kehidupan keluargaku yang harmonis dan sangat luar biasa. Aku adalah anak sulung dari pasangan suami-istri yang berketurunan barat. Ayahku adalah pekerja perencanaan bangunan atau kontraktor sedangkan ibuku adalah sekertaris dari perusahaan kakekku dan waktu mereka selalu habis untuk tugas dari pekerjaan mereka namun, bukan berarti mereka tak perdulu pada aku, mereka selalu menyediakan waktu untuk bersama-sama entah ngobrol atau makan bersama. Akan tetapi lambat laun mereka seakan menghilang dan waktuku lebih banyak kuhabiskan bersama nenekku yang berasal dari ayahku atau ibu dari ayahku. Beliau lah yang mengajarkan banyak cerita tentang hidup dan bagaimana seharusnya saya tumbuh dan hasilnya aku menjadi anak lelaki yang baik dan taat pada agama. Selain nenekku aku juga sering menghabiskan waktu dengan kakakku satu-satunya, seorang wanita yang luar biasa. Oh ya, aku lupa memperkenalkan diri, panggil saja aku lemper, itu lah panggilanku yang diberikan oleh kakak dan nenekku, karena aku cukup menyukai makanan tersebut walaupun aku awalnya juga tak terima namun aku iyakan saja. Dan hari-hariku kuhabiskan untuk bersekolah dan bermain bersama kakak dan nenekku hingga akhirnya pada saat menginjak umur 8 tahun sesuatu yang aneh terjadi, tiba-tiba suasana rumah menjadi kacau, orang-orang berdatangan dan menciumi keningku sambil berkata “sabar ya nak, kuat kok anak jempol ini” dan airmata turun bak hujan deras yang datang tiba-tiba, aku pun bingung dan hanya bisa bertanya-tanya namun semua berkata “ndak ada apa-apa nak, sabar ya nak” selalu begitu dan hanya itu kalimat yang kudengar hingga aku dijemput oleh pamanku dan dibawa ke sebuah tempat fast food untuk makan dan bermain, namun aku masih curiga dan penasaran dan meminta untuk segera pulang tetapi hasilnya nihil, pamanku selalu mengalihkan perhatianku. Malam pun tiba aku pun pulang dengan pamanku, aneh sekali ternyata dirumah sedang banyak tamu dan banyak orang membaca tahlil, pamanku langsung berkata “ini ada tahlil buat ayah kamu, ayah kamu sekarang lagi kerja di luar negeri, biar selamat makanya diadakan tahlil”. Aku pun hanya bisa percaya saja dan masuk kerumah seperti biasa mengucap salam dan bersalam ke ibu, nenek dan kakakku lalu pergi kekamar mengambil mainan yang biasa aku mainkan. Waktu berlalu cepat dan para tamu pun satu demi satu pulang menuju rumahnya sedangkan aku masih asik bermain dengan mainanku dan akhirnya aku memutuskan keluar dan menghampiri nenek dan kakakku yang terlihat menahan sesuatu hal yang berat untuk diucapkan.
2 tahun berlalu setelah kepergian ayahku bekerja diluar negeri, dan genap 10 tahun usiaku. Pada saat itu aku jujur mulai curiga, ayah tak pernah pulang bahkan tak pernah menelponku, aku pun menyelidiki kebenaran akan cerita itu dan pada akhirnya aku menguping pembicaraan nenek dan ibuku dikamar yang berkata “genap 2 tahun ya buk kepergian dia” nenek menyahut “sabar ya nak, memang sudah takdir suamimu harus diambil dengan cepat” sambil meneteskan air mata. Aku pun yang mendengar itu sontak menendang pintu kamar dan berkata “ayah g pernah kerja diluar negeri kan?! Ayah gak mungkin kembali kan?! Kenapa harus membohongi aku?! Ayah meninggal kan?!” mereka hanya bisa mendekapku tanpa berkata-kata hingga akhirnya mereka menceritakan yang sebenarnya tentang apa yang terjadi pada ayahku, awalnya aku sangat kecewa mengapa harus seperti itu, mengapa mereka merahasiakan itu dariku namun aku pun menerima dan mengikhlaskan kepergiannya karena aku yakin ayahku adalah orang yang baik dan akan mendapat tempat terbaik disisi-Nyadan aku harus tetap bangkit dan semangat untuk menjalani hidupku sama seperti saat aku mempunyainya.

next on bab 2